Budaya Imlek Cina
Binatang buas ini datang dari dasar lautan untuk memakan manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Nian ini takut akan bunyi yang keras. Karena itu untuk mencegahnya datang, mereka memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada dinasti Sung).
Mulai saat itu setiap akhir musim dingin, masyarakat merayakan tahun baru imlek dengan membakar petasan dan memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi.
Imlek secara tradisi telah diperingati oleh masyarakat Tionghoa seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Dari buku kuno diketahui Imlek dirayakan di Tiongkok 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Secara tradisi penyambutan Imlek diisi dengan aktivitas menjadi baru mulai dari mendandani rumah dan dirinya sendiri dengan pakaian dan semangat baru.
Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin artinya datangnya tahun baru mengubah segalanya menjadi baru.
Warga Tionghoa kini menghabiskan hari-harinya mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan angpao. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan atau mencat rumah.
Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie (tanggal 24 bulan ke-12 Imlek), yang jatuh pada hari Minggu, 11 Januari 2009.
Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) berketinggian tiga meter di klenteng-klenteng. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang).
Ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Shang Sheng merupakan salah satu dari rangkaian ritual keagamaan pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Mee atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek.
Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun imlek 2558 atau Sam Sip Pu mulai 6 Februari mulai pagi hingga malam. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.
Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.
Juga ada Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar.
Di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada malam tahun baru setelah berdoa dan makan malam, tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah.
Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke klenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.
Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah.
Pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.
Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.
Dihitung dari Shang Sheng, rangkaian persembahyangan menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan, berterima kasih kepada Thien (Tuhan), leluhur, orang tua dan orang-orang yang dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru.
Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting adalah pergi ke Vihara, berdoa menghaturkan kasih dan persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah. Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua.
Imlek 2560 dilambangkan dengan shio Kerbau dikhawatirkan kurang membawa keberuntungan. Orang tua mengatakan pada tahun kerbau menurut perhitungan nenek moyang, ada beberapa shio yang harus waspada. Beberapa shio akan mengalami ketidakberuntungan (qiong) pada tahun ini, sebut saja shio kerbau, kambing, anjing, dan naga adalah shio yang akan mengalami qiong besar, sementara shio ayam, babi, dan ular akan mengalami kesialan kecil.
Pada dasarnya shio apa pun pasti mengalami kendala, hanya ramalan itu ada untuk mengingatkan kita agar berhati-hati dan sabar. Karena itu, warga Tionghoa lebih mengutamakan sembahyang bersama keluarga. Terutama kalau masih ada orang tua, berkumpul di rumah orang tua minta maaf dan kemudian bersyukur dengan makan bersama
Filosofi dari kebudayaan Imlek
Masayarakat Tionghoa memiliki berbagai macam adat istiadat atau festival yang merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari -hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat.
Pada awal mulanya berbagai macam perayaan mempunyai sejarahnya tersendiri yang kemudian mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa.
Salah satu perayaan terpenting yang dilaksanakan setiap awal tahun sebagai wujud syukur atas segala rahmat yang diberikan Tuhan adalah perayaan Imlek atau “Sintjia” .
Pada dasarnya kata Imlek merupakan penanggalan yang berdasarkan perhitungan bulan (lunar) yang berasal dari dialek Hokkian Selatan, sehingga dapat dikatakan tahun baru Imlek berarti tahun baru menurut penanggalan bulan.
Hal ini juga dapat dilihat dari setiap ucapan selamat tahun baru seperti guo nian hao (selamat menjalani tahun baru), gon he xin xi (hormat bahagia menyambut tahun baru), gong xi fa cai (hormat bahagai berlimpah rezeki).
Penanggalan Imlek pertama kali dimulai pada 2637 SM pada masa pemerintahan Kaisar Oet Tee atau Huang Ti (2698 - 2598 SM).
Pada awalnya penanggalan Imlek disebut He Lek yaitu penanggalan berdasarkan pada penanggalan Dinasti He atau Hsia (2205 - 1766) yang penetapan tahun barunya jatuh pada musim semi.
Hal ini berubah pada pemerintahan Dinasti Cou atau Chin (1122 - 255 SM) tahun barunya jatuh pada musim dingin. Nabi Khongcu melihat bahwa tahun baru menurut penanggalan Cou tidak sesuai keadaan rakyat yang kekurangan karena musim dingin yang panjang. Oleh karena itu dia menetapkan kembali penggunaan penanggalan He.
Pada pemerintahan Kaisar Han Bu Tee (140 - 86 SM) dari Dinasti Han, Konghucu ditetapkan sebagai agama negara dan penanggalan He resmi dipakai. Untuk tahun pertamanya dihitung dari tahun kelahiran nabi Khongcu (551 SM).
Menurut kisah legenda Tiongha, disalah satu desa di Cina terdapat seekor hewan buas Nian (raksasa) berbadan besar yang menyerupai singa pemakan manusia yang datang dari pegunungan.
Nian biasanya muncul di akhir tahun untuk memakan apa saja yang ditemuinya, termasuk hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa.
Pada hari kemunculan Nian, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada setiap awal tahun untuk melindungi diri.
Mereka meyakini, dengan melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.
Pada suatu ketika, ada penduduk yang melihat Nian tidak berani mendekati anak kecil yang sedang bermain petasan dengan mengenakan baju merah, Nian tersebut ketakutan dan berlari menuju hutan.
Setelah itu, penduduk desa percaya bahwa Nian takut dengan warna merah. Sehingga mulai saat itu, setiap memasuki tahun baru maka penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Tradisi tersebut kemudian berkembang menjadi moda perayaan Tahun Baru hingga sekarang.
Selanjutnya, sebagaimana lazimnya sebuah ritual yang dilakukan masyarakat Tionghoa, perayaan Imlek juga dilengkapi dengan berbagai macam ‘sesajian’ yang sarat makna di baliknya. Pemilihan perlengkapan sesajian tidak berdasarkan keinginan sendiri masyarakatnya, melainkan melambangkan dunia serta nilai-nilai keagamaan.
Perlengkapan sesajian ini terdiri atas makanan dan benda -benda diantaranya:
Lumpia.
Lumpia dalam bahasa Mandarin disebut chun juan. Juan berarti gulungan dan chun berarti musim semi. Kehadiran lumpia mempunyai makna harapan, agar semua manusia dapat lebih meningkatkan rasa cinta kasih kepada sesama.
Interpretasi dari kata gulungan bahwa manusia di seluruh bumi ini bersatu tanpa memandang perbedaan seperti halnya gulungan tersebut.
Bakmi goreng, bihun, mie panjang umur.
Hidangan ini biasa disebut siu mi atau shou me yang artinya panjang umur. Hidangan melambangkan sebuah harapan agar para penganut Konghucu mendapat umur panjang sehingga lebih meningkatkan kebajikan kepada Thian.
Kue keranjang.
Kue ini dalam bahasa Mandarin disebut nian gao atau kue tahun baru. Kue keranjang dihidangkan dengan cara menyusun ke atas dengan mangkok merah di bagian atasnya.
Memiliki simbol agar di tahun baru berlimpah rezeki seperti halnya tumpukan kue keranjang tersebut.
Mulai saat itu setiap akhir musim dingin, masyarakat merayakan tahun baru imlek dengan membakar petasan dan memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi.
Imlek secara tradisi telah diperingati oleh masyarakat Tionghoa seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Dari buku kuno diketahui Imlek dirayakan di Tiongkok 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Secara tradisi penyambutan Imlek diisi dengan aktivitas menjadi baru mulai dari mendandani rumah dan dirinya sendiri dengan pakaian dan semangat baru.
Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin artinya datangnya tahun baru mengubah segalanya menjadi baru.
Warga Tionghoa kini menghabiskan hari-harinya mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan angpao. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan atau mencat rumah.
Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie (tanggal 24 bulan ke-12 Imlek), yang jatuh pada hari Minggu, 11 Januari 2009.
Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) berketinggian tiga meter di klenteng-klenteng. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang).
Ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Shang Sheng merupakan salah satu dari rangkaian ritual keagamaan pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Mee atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek.
Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun imlek 2558 atau Sam Sip Pu mulai 6 Februari mulai pagi hingga malam. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.
Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.
Juga ada Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar.
Di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada malam tahun baru setelah berdoa dan makan malam, tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah.
Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke klenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.
Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah.
Pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.
Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.
Dihitung dari Shang Sheng, rangkaian persembahyangan menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan, berterima kasih kepada Thien (Tuhan), leluhur, orang tua dan orang-orang yang dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru.
Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting adalah pergi ke Vihara, berdoa menghaturkan kasih dan persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah. Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua.
Imlek 2560 dilambangkan dengan shio Kerbau dikhawatirkan kurang membawa keberuntungan. Orang tua mengatakan pada tahun kerbau menurut perhitungan nenek moyang, ada beberapa shio yang harus waspada. Beberapa shio akan mengalami ketidakberuntungan (qiong) pada tahun ini, sebut saja shio kerbau, kambing, anjing, dan naga adalah shio yang akan mengalami qiong besar, sementara shio ayam, babi, dan ular akan mengalami kesialan kecil.
Pada dasarnya shio apa pun pasti mengalami kendala, hanya ramalan itu ada untuk mengingatkan kita agar berhati-hati dan sabar. Karena itu, warga Tionghoa lebih mengutamakan sembahyang bersama keluarga. Terutama kalau masih ada orang tua, berkumpul di rumah orang tua minta maaf dan kemudian bersyukur dengan makan bersama
Filosofi dari kebudayaan Imlek
Masayarakat Tionghoa memiliki berbagai macam adat istiadat atau festival yang merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari -hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat.
Pada awal mulanya berbagai macam perayaan mempunyai sejarahnya tersendiri yang kemudian mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa.
Salah satu perayaan terpenting yang dilaksanakan setiap awal tahun sebagai wujud syukur atas segala rahmat yang diberikan Tuhan adalah perayaan Imlek atau “Sintjia” .
Pada dasarnya kata Imlek merupakan penanggalan yang berdasarkan perhitungan bulan (lunar) yang berasal dari dialek Hokkian Selatan, sehingga dapat dikatakan tahun baru Imlek berarti tahun baru menurut penanggalan bulan.
Hal ini juga dapat dilihat dari setiap ucapan selamat tahun baru seperti guo nian hao (selamat menjalani tahun baru), gon he xin xi (hormat bahagia menyambut tahun baru), gong xi fa cai (hormat bahagai berlimpah rezeki).
Penanggalan Imlek pertama kali dimulai pada 2637 SM pada masa pemerintahan Kaisar Oet Tee atau Huang Ti (2698 - 2598 SM).
Pada awalnya penanggalan Imlek disebut He Lek yaitu penanggalan berdasarkan pada penanggalan Dinasti He atau Hsia (2205 - 1766) yang penetapan tahun barunya jatuh pada musim semi.
Hal ini berubah pada pemerintahan Dinasti Cou atau Chin (1122 - 255 SM) tahun barunya jatuh pada musim dingin. Nabi Khongcu melihat bahwa tahun baru menurut penanggalan Cou tidak sesuai keadaan rakyat yang kekurangan karena musim dingin yang panjang. Oleh karena itu dia menetapkan kembali penggunaan penanggalan He.
Pada pemerintahan Kaisar Han Bu Tee (140 - 86 SM) dari Dinasti Han, Konghucu ditetapkan sebagai agama negara dan penanggalan He resmi dipakai. Untuk tahun pertamanya dihitung dari tahun kelahiran nabi Khongcu (551 SM).
Menurut kisah legenda Tiongha, disalah satu desa di Cina terdapat seekor hewan buas Nian (raksasa) berbadan besar yang menyerupai singa pemakan manusia yang datang dari pegunungan.
Nian biasanya muncul di akhir tahun untuk memakan apa saja yang ditemuinya, termasuk hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa.
Pada hari kemunculan Nian, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada setiap awal tahun untuk melindungi diri.
Mereka meyakini, dengan melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.
Pada suatu ketika, ada penduduk yang melihat Nian tidak berani mendekati anak kecil yang sedang bermain petasan dengan mengenakan baju merah, Nian tersebut ketakutan dan berlari menuju hutan.
Setelah itu, penduduk desa percaya bahwa Nian takut dengan warna merah. Sehingga mulai saat itu, setiap memasuki tahun baru maka penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Tradisi tersebut kemudian berkembang menjadi moda perayaan Tahun Baru hingga sekarang.
Selanjutnya, sebagaimana lazimnya sebuah ritual yang dilakukan masyarakat Tionghoa, perayaan Imlek juga dilengkapi dengan berbagai macam ‘sesajian’ yang sarat makna di baliknya. Pemilihan perlengkapan sesajian tidak berdasarkan keinginan sendiri masyarakatnya, melainkan melambangkan dunia serta nilai-nilai keagamaan.
Perlengkapan sesajian ini terdiri atas makanan dan benda -benda diantaranya:
Lumpia.
Lumpia dalam bahasa Mandarin disebut chun juan. Juan berarti gulungan dan chun berarti musim semi. Kehadiran lumpia mempunyai makna harapan, agar semua manusia dapat lebih meningkatkan rasa cinta kasih kepada sesama.
Interpretasi dari kata gulungan bahwa manusia di seluruh bumi ini bersatu tanpa memandang perbedaan seperti halnya gulungan tersebut.
Bakmi goreng, bihun, mie panjang umur.
Hidangan ini biasa disebut siu mi atau shou me yang artinya panjang umur. Hidangan melambangkan sebuah harapan agar para penganut Konghucu mendapat umur panjang sehingga lebih meningkatkan kebajikan kepada Thian.
Kue keranjang.
Kue ini dalam bahasa Mandarin disebut nian gao atau kue tahun baru. Kue keranjang dihidangkan dengan cara menyusun ke atas dengan mangkok merah di bagian atasnya.
Memiliki simbol agar di tahun baru berlimpah rezeki seperti halnya tumpukan kue keranjang tersebut.
Samsing.
Merupakan hidangan yang teridiri atas tiga jenis binatang yaitu babi, ayam dan ikan yang mewakili tiga alam yaitu darat, udara dan air. Samsing merupakan sebuah simbolisasi janji dan sumpah masyarakat penganut Tionghoa kepada Thian untuk segera memperbaiki kesalahan.
Tanghun.
Adalah hidangan berupa sup ikan atau sup daging. Kata hun selain berarti ikan juga berarti kegelapan. Makna hidangan tanghun adalah segala kegelapan atau nasib buruk di tahun lalu diharapkan hilang dan berganti dengan yang baik dan penuh keberuntungan pada tahun baru.
Sebenarnya lontong Capgome hanya ada di Indonesia dan tidak ditemukan di negeri Tiongkok. Munculnya makanan ini dalam setiap ritual perayaan Imlek melambangkan akulturasi budaya yang harmonis antara Indonesia dan Tionghoa. Dengan perayaan ini diharapkan kerukunan dan toleransi beragama tetap terjaga.
Pendapat Tokoh Tentang Perayaan Imlek
Oleh Pradita Devis DukarnoAlumni Jurusan Sejarah FIB UGM, Penerima MAARIF Fellowship 2013.
Imlek, perayaan pergantian tahun etnis Tionghoa sebetulnya jauh sudah ada sebelum Indonesia lahir. Ketika negeri ini masih disebut Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa sudah merayakan Imlek. Secara harafiah Imlek bermakna penanggalan bulan, yang berasal dari dialek Hokkian. Dalam perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa tidak hanya merayakan pergantian tahun tetapi juga melakukan peribadatan seperti sembahyang di depan meja abu disertai membakar dupa dan berdoa agar tahun depan lebih baik.
Dalam perjalanan sejarah, perayaan tahun baru etnis Tionghoa di Indonesia mengalami pasang-surut. Ketika masa Kolonial, di Batavia pergantian tahun Tionghoa dianggap sebagai tontonan yang ramai dikunjungi. Terlihat dari jumlah pengunjung yang datang di acara puncak atau disebut Cap Go Meh, biasanya pribumi di sekitar Batavia datang untuk melihat. Mereka ingin meyaksikan arak-arakan tarian liong, barongsai, warna-warni lampion serta kemeriahan kembang api, yang jarang mereka temui di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kemeriaahan acara Imlek terhenti ketika masa Orde Baru. Pemerintah menetapkan Instruksi Presiden No. 14/1967 yang isinya membatasi agama dan kebudayaan etnis Tionghoa, termasuk juga perayaan Imlek (Yosep Adi Prasetyo, Jurnal Maarif, 7, 2012). Penyebabnya, karena orang Tionghoa diduga terlibat peristiwa G30S. Kegiatan keagamaan dan kebudayaan hanya dilakukan ditempat tertutup dan terbatas untuk orang Tionghoa. Akibatnya, generasi Indonesia yang lahir di masa Orde Baru, khususnya non-Tionghoa tidak mengenal perayaan Imlek.
Sejak ditetapkan sebagai hari libur Nasional (2002) oleh Presidan Abdurrachman Wahid, perayaan Imlek yang dilakukan oleh etnis Tionghoa resmi diakui oleh Negara. Selama masa Orde Baru mereka merayakan Imlek sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan sunyi. Kini, perayaan Imlek dapat kita lihat dalam tempat umum, bahkan diapresiasi oleh media televisi dan cetak.
Integrasi tidak dimaknai seperti asimilasi, kelompok minoritas harus dipaksa menyerap budaya dari masyarakat mayoritas. Kebijakan ini pernah dilakukan di masa pemerintahan Soekarno, nama orang-orang Tionghoa harus diganti sesuai dengan nama orang Indonesia asli dan status kewarganegaraan. (Ong Hok Ham, 2005). Integrasi disini artinya menerima, merawat, dan ikut memberikan perlindungan terhadap perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
sumber:
http://sindhunataprayoga.blogspot.com/2013/05/ritual-imlek-budaya-cina.html
http://maarifinstitute.org/id/opini/98/imlek-dan-ikhtiar-merawat-keindonesiaan#.VRPDq1Ofe7c